Breaking News
Kebudayaan Dayak,
Orang Kumpang juga masih merupakan bagian dari subsuku Dayak Ketungau yang mendiami wilayah perhuluan Sungai Ketungau di Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang. Mereka ini merupakan penutur bahasa benadai. Ada anggapan dari orang Kumpang, bahwa jika dibandingkan dengan bahasa Bugau maka bahasa Bugau cenderung lebih halus tekanannya. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa Kumpang ini sama dengan bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya. Salah satu kampung yang menggunakan bahasa Kumpang adalah Kampung Nanga Bayan. Bahasa yang digunakan di sebelah timur Nanga Bayan adalah bahasa Sekalau. Bahasa ini dapat dikatakan sama dengan bahasa yang digunakan di Nanga Bayan, hanya berbeda tekanan nada. Sementara itu, di sebelah barat Nanga Bayan, terdapat Kampung Sungai Kelik. Bahasa yang digunakan di sana adalah bahasa Mandau. Selain itu, pada bagian utara, Nanga Bayan berbatasan dengan negara bagian Serawak, Malaysia yang menggunakan bahasa Iban Malaysia yang memiliki bunyi [r] yang jelas getarnya. Batas selatannya adalah Desa Suak Medang yang menuturkan bahasa Embarak. Orang Kumpang ini tersebar di beberapa kampung, yaitu Kampung Binjai, Sepadit, Sedangu/Sungai Numpu, Nanga Bayan, Idai, Belubu, dan Sungai Tanju. Orang Kumpang ini diperkirakan berjumlah 2.201 jiwa (data diolah berdasarkan sumber data statistik kecamatan tahun 2003).Cerita asal-usul orang Kumpang didasarkan pada mitologi yang hidup dan berkembang. Berikut adalah cerita asal usul tersebut. Muga dan Rama adalah dua orang kakak beradik. Muga adalah seorang laki-laki dan Rama adalah seorang perempuan. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil yang disebut dengan langkau. Muga mencari kutu di kepala Rama. Muga melihat kutu itu sedang bertumpak-tumpak ‘melakukan hubungan kelamin’. Kemudian mereka berdua meniru perilaku kutu itu. Baru kemudian, Rama bunting. Namun anaknya selalu mati. Ada tujuh anak yang meninggal, diantaranya adalah Amboi Menyawan, Raja Merundai, dan Gendeh. Setelah itu, baru datang secara tiba-tiba seorang Batara. Batara itu mengatakan bahwa sebelum mereka berdua menebus diri sendiri, anak-anak mereka tidak akan jadi. Kata Batara itu, mereka akan terkena air bah (banjir besar). Semua tanah-tanah akan terkena banjir. Yang tidak tenggelam hanya Gunung Ambol-ambol. Mereka harus memudas dengan cara menyembelih babi dan ayam. Kemudian Muga dan Rama berpikir agar mereka bisa mendapatkan binatang untuk memudas dunia. Kemudian, datanglah Batara untuk yang kedua kalinya. Ia mengatakan, “Kalau Kalian berdua mau memudas dunia, Saya akan mempersiapkan segala perlengkapannya, yaitu babi, ayam, dan lain-lain. Akhirnya upacara memudas pun dilaksanakan. Setelah memudas dunia, Rama bunting dan melahirkan manusia laki-laki cacat yang dinamakan Pulanggana. Pulanggana ini memiliki istri yang bernama Dara Serejai. Anak-anak mereka inilah yang menurunkan orang Kumpang. Setelah itu ia pun memiliki anak yang kedua yang disebut Bui Nasi. Selanjutnya terlahir Belitan Dai (karena ada bekas luka di keningnya), Bejit Manai (seperti lutung), Belang Pingga, Lembia Teluk, dan Putong Kempat. Keenam pertama anak-anak itu berjenis kelamin laki-laki, sedangkan anak yang ketujuh adalah perempuan. Bui Nasi adalah seorang anak yang terlahir dengan membawa tanda ada nasi yang melekat di giginya. Bui Nasi selalu menangis mencari nasi terus, bahkan dibujuk oleh kedua orang tuanya pun dia tidak mau diam hingga orang tuanya tidak bisa merayunya lagi. Kata orang tuanya, “Kamu menangis siang malam. Kami berdua pergi ke tunggul kayu yang sudah dipotong selama tujuh hari. Jangan menengok kami sebelum tujuh hari lamanya kami di sana.” Akan tetapi, Bui Nasi yang memang terus-menerus meminta nasi itu, melihat kedua orang tuanya sebelum hari ketujuh. Orang tuanya pun berkata, “Kau melanggar janji.” Kedua orang tuanya pun meloncat dari tanggul kayu itu. Bapak Bui Nasi menjadi padi dan mamaknya menjadi bintang. Apabila Bui Nasi tidak melihat kedua orang tuanya hingga tujuh hari maka dia tidak perlu menunggu untukmendapatkan padi tersebut. Namun karena tidak sabar, justru akibatnya dia harus menunggu untuk mendapatkan padi yang cukup matang untuk dituai. Selanjutnya tangan tunjuk bapaknya menjadi jahe, betisnya menjadi tebu, rambutnya menjadi kucai, perut dan ususnya menjadi emas, matanya menjadi intan, dan sebagainya. Di samping cerita berdasarkan mitos asal-usul tersebut ada pula sejarah singkat berikut ini yang berkembang di Kumpang. Dulu kala, orang Kumpang ini belum banyak. Mereka tidak berada di tempat ini juga (di sekitar Nanga Bayan sekarang). Memang ada Sungai Kumpang yang letaknya di bagian selatan Nanga Bayan. Sementara itu, Nanga Bayan dulunya disebut Lubuk Ara karena memang banyak pohon ara pada sebuah lubuk sungai yang mengalir di situ. Ketika itu, ada ketemenggungan tersendiri di wilayah itu. Ketemenggungan itu dipimpin oleh Temenggung Tajak. Beberapa waktu kemudian, kepemimpinan digantikan oleh Petinggi Baga. Petinggi Baga kemudian diganti oleh Patih Singaraja Luyun. Setelah kepemimpinan ganti-berganti, suatu ketika Kumpang dipimpin oleh Temenggung Minui. Ketika itulah wilayah ketemenggungan itu disebut Kumpang.
Copyright © Kebudayaan Dayak. Developed by: Kebudayaan Dayak |RSS Feed |Hubungi Kami |Online: 3 |Hits: 790 / 1590979
0 Komentar
Form Komentar Berita