Breaking News
Kebudayaan Dayak,
Dayak Simpakng atau seringkali disebut dengan istilah Dayak Simpang saja, terutama orang luar yang tidak terbiasa melafalkan bunyi konsonan Dayak Simpakng atau seringkali disebut dengan istilah Dayak Simpang saja, terutama orang luar yang tidak terbiasa melafalkan bunyi konsonan sebelum nasal (huruf k sebelum ng), adalah salah satu subsuku Dayak yang umumnya bermukim di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang. Sebagian kecil mereka juga terdapat perbatasan wilayah Kabupaten Ketapang-Sanggau, tepatnya di sepanjang daerah aliran Sungai Banjur, Semandang, Baram, dan Kualatn.
Istilah Simpakng sesungguhnya adalah nama sungai yang terdapat di Kecamatan Teluk Melanau yang jaraknya kurang lebih 70 kilometer dari tempat tinggal orang Simpakng. Namun berdasarkan asal-usul sejarah mereka pernah hidup di daerah aliran sungai tersebut, sehingga mereka menyebut dirinya Orang Simpakng atau Banua Simpakng. Dalam wilayah adat Banua Simpakng sebagai nama kolektif bagi kelompok masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Banjur, Semanakng, Baram, dan Kualatn. Dalam Banua Simpakng, setiap DAS di atas cenderung memiliki bahasa tersendiri yang sebenarnya hanya memiliki perbedaan sedikit saja, seperti langgam, intonasi, maupun kosa-kata tertentu. Oleh karena itu di wilayah ini sudah menjadi hal yang lumrah bilamana kelompok masyarakat yang tinggal di DAS Banyur misalnya cenderung menyebut dirinya “orang Banyur”.
Demikian pula yang bermukim di sepanjang Sungai Semandang menyebut diri “orang Semandang” atau Semanakng, dan seterusnya. Namun demikian hal yang prinsip sebagai faktor pembeda ini juga terkait pada pembagian wilayah adat29 pada masa lalu, orang Dayak Simpakng yang berada dalam wilayah adat kesatuan wilayah adat Banua Simpakng, pada zaman dahulu terbagi dalam empat wilayah adat, yakni sebagai berikut.
1. Wilayah adat Sajan atau biasa juga di sebut Saje’, yang meliputi Kampung Pauh Cuncong (sekarang disebut Baram),Pengalaman menelusuri asal-usul subsuku Dayak Simpakng oleh berbagai peneliti yang pernah meneliti suku ini seperti yang dilakukan Institut Dayakologi dalam tiga periode (1995, 1998, 2001) setidaknya membantu untuk menjelaskan hubungan subsuku Dayak Simpakng dengan kelompok Bidayuhik yang umumnya terdapat di Kabupaten Sanggau.
Dalam temuan cerita yang digali, umumnya menyatakan bahwa kelompok ini berasal dari Tanah Tamba’ Rawang di Sukadana yang dipimpin oleh Mangku Lurah. Menurut legenda yang warisi masyarakat Subsuku Dayak Simpakng sampai saat ini, dikisahkan bahwa asal-usul Dayak Simpakng berasal atau keturunan Dayakng Putung (versi Melayu Ketapang dikenal dengan nama Putri Junjung Buih30 yang menurut kepercayaan orang Dayak Krio, dia adalah Putri Raja Ulu Ai’ yang pernah berdaulat di hulu Sungai Krio.
Dayakng Putung yang merupakan orang Dayak ini diceritakan saat bayi dihanyutkan dalam peti oleh Raja Ulu Ai’. Namun selama dihanyutkan di sungai ditemukan oleh seorang kakek. Kakek tersebut merawatnya hingga ia menjadi gadis yang paling cantik sejagat Tanah Kayong. Kecantikannya inilah yang memikat seorang Putra Raja Kerajaan Maja Pahit yang bernama Prabu Jaya yang pernah berdaulat di Sukadana sebagai pusat Kerajaan Tanjungpura yang sebelumnya di Kuala Kandang Kerbau. Menurut Djuweng (2003:2) alasan Dayak Simpakng bermigrasi secara besar-besaran selain pertimbangan keamanan dan potensi alam di daerah Banua Simpakng, juga dikarenakan perubahan suhu politik di lingkungan Kerajaan Sukadana, yaitu mulai adanya penyebaran agama Islam.
Islamisasi dilakukan oleh pedagang Melayu dari Riau dan Melaka terhadap suku Dayak pada zaman itu. Revolusi ini mereka sebut dengan istilah lanun karena selain melakukan penaklukan dan pemaksaan masuk agama Islam, juga merampas harta-harta mereka. Perpindahan fase kedua adalah pemaksaan membayar pajak blesting atas kerjasama Kerajaan Tanjungpura dengan Kompeni Belanda.
Tanah Simpakng yang sekarang disebut Banua Simpakng jauh sebelumnya diceritakan tidak pernah terlintas dalam bayangan mereka menjadi pelabuh an terakhir untuk menuju sebuah kehidupan orang Simpakng yang lebih berdaulat dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Wilayah ini ditemukan berawal dari kisah perburuan Mangku Lurah bersama sembilan rakyatnya ketika mengejar buruan seekor babi besar yang cukup aneh. Keanehan itu terlihat pada kepalanya yang ditumbuhi serumpun bambu temiang dan serumpun rotan sega’ (istilah lokalnya sigih saropun ngan temiang saropun).
Kehidupan yang serba sulit, makanan susah dicari, wabah penyakit merenggut nyawa hampir terjadi setiap hari. Hal ini memicu semangat Mangku Lurah sebagai pemimpin suku Simpakng agar dapat memberi makan lauk pada rakyatnya. Babi yang aneh tadi dikejar hingga ke mana pun ia berlari. Masuk hutan, menyeberangi sungai, dan bahkan menelusuri hulu-hulu sungai yang masih berhutan lebat. Lama mereka melakukan perburuan tanpa mengenal lelah, tibalah mereka pada satu tempat yang binatang buruannya masih banyak, sungainya jernih yang didalamnya terdapat berbagai jenis ikan yang kepalanya sudah berlumut karena tidak pernah diambil orang, meskipun tidak jauh dari tempat itu sudah ada sekelompok manusia yang dikenali dengan sebutan orang Joka'.
Melihat tempat itu sangat menjanjikan bagi kehidupan. Mangku Lurah menghentikan perburuannya. Ia pulang bersama sembilan orang rakyatnya. Dalam hatinya ia akan membawa seluruh rakyatnya pindah ke tempat tadi. Setibanya di Tamba’ Rawang, diceritakanlah peristiwa yang mereka alami. Secara spontan rakyatnya menyetujui ajakan Mangku Lurah untuk bermukim di kawasan yang menjanjikan tadi. Diceritakan rute migrasi mereka ini melalui Sungai Semandang yang saat itu masih dapat dilalui dengan perahu besar.
Lama menempuh perjalanan panjang, mereka singgah di kawasan hutan yang dirasakan cukup aman dari kejaran lanun. Nama tempat itu kemudian dinamai Pauh Cuncong. Setelah kelompok ini lama bermukim di Kampung Pauh Cuncong dan beranak pinak serta berdaulat, seluruh kawasan ini dinamai Tanah Banua Simpakng. Pada zaman itu terbentuklah sebuah kehidupan yang cukup menetap dan memiliki wilayah adat yang dibagi dalam empat kelompok sub-subsuku, yaitu Komi, Sajan/Saje’, Kukot, dan Sapo. Namun demikian pembagian tersebut sudah tidak ada lagi, sebab jika dilihat dari asal-usul penyebaran keempat kelompok suku Dayak ini sebenarnya bersumber pada satu wilayah hunian yaitu Pauh Cuncong (sekarang hanya tinggal Tembawang).
Konon menurut ceritanya, Pauh Concong yang menjadi pusat pemukiman subsuku Dayak Simpakng ini semakin lama penduduknya sangat padat yang terdiri dari empat buah rumbatn (istilah lokal untuk rumah betang). Masingmasing satu rumbatn terdiri dari kurang lebih 30 lawakng/pintu. Meskipun padat, mereka hidup harmonis. Namun, keharmonisan ini akhirnya terusik juga dengan datangnya penjajahan Belanda yang memberlakukan pajak blesting. Sejak itulah anggota masyarakat menjadi terpecah belah dengan alasan belakau32 untuk menghindari pajak tersebut.
Penyebaran kelompok pertama adalah ke Nanga Baram yang sekarang menetap di Baram. Kelompok selanjutnya menyebar di Deraman. Dari Deraman ada yang menetap dan ada juga yang menyebar ke Sei Tontang. Pada dekade selanjutnya dari Pauh Concong menyebar di Paser, dan ada juga membuat pemukiman baru di Tolus, Ke’ Lipur. Sedang kelompok lainnya menyebar ke Piling. Merasa belum aman di Piling, lalu pindah lagi di Mua (sekarang masih ada penduduknya). Dari Mua pindah lagi di Belante’ dari Belate’ pindah lagi di Tanjung Maja (tahun 1960). Selanjutnya dari Tanjung Maja pindah lagi ke Tanjung Maju (tahun 1970) hingga sekarang. Mereka ini menamakan dirinya sebagai Dayak Sajan.
Legenda di atas sebenarnya masih menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan masyarakat Dayak. Bagi masyarakat suku tersebut tidak ada indikator atau tanda-tanda yang dapat dibuktikan (terutama dalam pranata), bahwa suku Dayak di Kecamatan Simpang Hulu keturunan Jawa. Meskipun budaya Jawa telah berintegrasi dengan budaya subsuku Dayak Simpakng terlihat jelas pada upacara adat perkawinan. Namun bukti-bukti bahwa kelompok masyarakat suku ini pernah bermukim lama di Sukadana di antara orang Melayu dan suku-suku lain yang umumnya beragama muslim sangat jelas sampai saat ini. Misalnya subsuku Dayak masih meyakini yang juga diakui oleh suku-suku Melayu yang bermukin di Sukadana dan sekitarnya bahwa mereka memiliki tembawang durian33 dan juga sebuah gua keramat yang dikenal dengan istilah Gua Nek Takun. Di masyarakatnya sendiri masih terdapat berbagai versi cerita bahwa subsuku ini dulunya bermukim di Sukadana
Tradisi Dayak Simpakng yang hidup dan masih berkembang sampai saat ini tidak lain adalah warisan nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Subsuku ini memiliki tradisi mulai dari kelahiran hingga kematian yang biasanya diwujudkan dalam upacara-upacara adat. Jenis tradisi Dayak Simpakng antara lain adalah cerita main rindikng, yaitu tradisi lisan yang dituturkan dalam bentuk nyanyian atau dilagukan yang biasanya dipersembahkan dalam situasi tertentu. Misalnya pada saat upacara adat kematian, perkawinan tergantung pada konteksnya. Tradisi lisan yang termasuk dalam jenis rindikng ini adalah pantutn, kaseben/sansangan, rayah, boretn (dinyanyikan pada saat pengobatan), domamakng bulan (pada saat pernikahan), domong dabokng (nyanyian membuka tuak), damamakng laban, dan maing antdu (nyanyian duka saat kematian).
Dari aspek kebahasaan, bahasa yang dituturkan oleh orang Simpakng yang bermukim di Sungai Kualatn, Semanakng, dan Banjur memperlihatkan perbedaan langgam atau logat saja. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan kelompok masyarakat yang bermukim di aliran Sungai Baram. Pembagian empat kelompok Dayak Simpakng berdasarkan wilayah adat ini sebagaimana diuraikan di atas, pada saat itu ternyata tidaklah dilakukan secara serampangan, karena juga didasarkan pada aspek karakteristik bahasa yang dituturkan.
Oleh karena itu, pada subsuku Dayak Simpakng dibedakan dalam empat kelompok yaitu bahasa Kualatn, Banyur, Semanakng, dan Saje’atau dikenali juga dengan bahasa Baram, meskipun keempat kelompok ini ditinjau dari asepek kebahasaan masih memiliki hubungan yang sangat dekat. Dalam hal ini ketiga penutur dialek ini tidak mengalami kesulitan sama sekali saat berkomunikasi, meskipun di antara ketiganya dapat membedakan atau mengenali lawan bicaranya. Manakala dialek Sajan atau Baram memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti, dimana bunyi konsonan pranasal khususnya:[-tn, -kng, -pm] pada suku akhir kata berkonotasi dengan konsonan hentian glottis [~?].
Namun demikian tidak semua kampung wilayah penyebaran yang klasifikasikan berdasarkan wilayah adat di atas memperlihatkan perbedaan yang signifikan, tetapi hanya dijumpai pada dua kampung, yaitu Kampung Baram dan Tanjung Maju saja. Karena Kampung Deraman dan Semandang dapat diklasifikasikan dalam dialek Semanakng. Berdasarkan pembagian wilayah dan ciri bahasa yang dituturkan maka subsuku Dayak Simpakng ini dibedakan dalam empat bahasa yaitu:
1. Banyur
2. Kualatn
3. Sajan dan
4. Semanakng
Copyright © Kebudayaan Dayak. Developed by: Kebudayaan Dayak |RSS Feed |Hubungi Kami |Online: 6 |Hits: 573 / 1590762
0 Komentar
Form Komentar Berita