Breaking News
Kebudayaan Dayak,
"Untuk apa kalian melakukan ini (merekam-red) tradisi lisan? Ini kan kuno. Masihkah ada gunanya dalam jaman modern seperti ini?,” tanya Ibu Nokng, seorang penutur tradisi lisan (kini sudah meninggal dunia) di kampung Bukang, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang.
Itulah reaksi pertama ketika Tim Peneliti Tradisi Lisan Institut Dayakologi berbicara kepada para pemuka adat dan penutur tradisi lisan Dayak Simpakng mengenai aktivitas yang akan dilakukan di wilayah itu.
Walaupun orang Dayak Simpakng biasa berbasa-basi, namun ungkapan diatas bukan sekedar kalimat pembuka suatu obrolan, tetapi ekspresi sebuah keterkejutan. Betapa tidak, selama ini anak-anak Simpakng yang sudah berpendidikan ala kota (baca Barat) tidak hanya cenderung melupakan tradisi lisan mereka, tetapi juga orang-orang yang berada pada barisan paling depan yang menggusur keberadaan tradisi lisan.
Sebaliknya, pada kelompok subsuku Dayak Kanayatn Tim Peneliti disambut dengan rasa gembira. Timanggong Maniamas Miden, salah seorang pemimpin adat di kawasan itu bahkan merasa mendapat dukungan dalam usaha melestarikan adat istiadat, Cerita rakyat dan pengetahuan asli Dayak Kanayatn. Dia kemudian menjadi fasilitator lokal yang menjelaskan, mengajak dan mendorong para informan penelitian dan masyarakat untuk terlibat secara antusias. “Dengan adanya usaha pendokumentasian dalam bentuk rekaman suara ini, kata Miden, setidaknya suara kami dapat terdengar oleh anak cucu kami kelak."
Walaupun dua reaksi itu berbeda, tetapi keduanya tetap bermuara pada satu hal: tradisi lisan semakin sudah semakin dipinggirkan dan bahkan terlupakan. Hal ini diperjelas dari usia para informan penelitian ini kelak.
Keterkejutan Ibu Nokng, apakah suatu representasi dari anggapan umum terhadap tradisi lisan di negeri ini? Jika ini benar, maka betapa kuat hegemoni gagasan modernisasi (Baratisasi) yang, antara lain diintrodusir lewat berbagai cara dan tingkatan-mulai dari pendidikan di sekolah, penyebaran agama, sampai tayangan televisi yang ditangkap melalui parabola hingga seorang penutur tradisi lisan pun tidak luput dari rasa risih untuk sekedar memperdengarkan kembali sebuah teks naskah lisan.
Kondisi ini melahirkan rasa prihatin yang mendalam. Mengapa? Karena, menurut John D. Waiko (1981:11) tradisi lisan adalah landasan kesadaran diri dan otonomi [sebuah komunitas] ketika [mereka] berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, jika peranan tradisi lisan itu tergeser, terpinggirkan dan terlupakan, maka kesadaran diri, otonomi dan identitas masyarakatnya juga pasti demikian.
Gejala dan proses itu kemudian kami tangkap dalam berbagai kesempatan diskusi dan dialog dengan peserta penelitian kami di kalangan Dayak Simpakng, Kanayatn, Krio dan Pompakng.
Para peserta penelitian di Simpakng menyatakan, bahwa, di sekolah mereka tidak pernah diberitahu berapa jenis padi yang tumbuh di ladang. Sebaliknya, mereka wajib menghapal nama-nama padi baru seperti PB 8; PB 12 dan lain sebagainya, yang bahkan belum pernah mereka lihat. “Kami banyak membaca tentang kereta api, kuda atau cerita tentang Joko Tarub atau Banyu Wangi. Tetapi tidak tentang Koling atau Damamang."
Hal yang sama juga terungkap di Kanayatn, Pompakng dan Krio. Dalam suatu lokakarya dengan para guru Sekolah Dasar dan. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Banua Simpakng dan Kecamatan Sengah Temila, guru-guru menyimpulkan, memang selama ini belum ada buku-buku cerita dari kedua daerah itu yang menjadi bahan bacaan anak-anak di sekolah.
Itulah salah satu cara pendidikan dan ilmu model barat (western science)--yang sering disebut sebagai sesuatu yang ilmiah dan modern--mencerabut seorang individu dari akar budayanya. Dengan cara berbeda Paul Ekins, seorang Ekonom Ekologis dari Birkbeck College, University of London, dalam "A New World Order, Grassroots Movement for Global Change" menulis seperti berikut:
“Ilmu pengetahunan modern (Barat) digunakan untuk mendominasi rakyat dan alam. Elevasi dan promosinya sebagai satu-satunya cara yang sah untuk mengetahui dunia telah menyumbat sebagian besar dari kreativitas, intuisi, dan pengetahuan tradisional. Singkatnya, dia telah mendevaluasi gagasan-gagasan, pengalaman dan akumulasi kebijaksanaan dari sebagian besar umat manusia. Sistem kesehatan asli, obat-obatan, pendidikan dan pertanian, seperti halnya cara-cara untuk mengetahui misteri dunia dan tempat-tempat di mana manusia bermukim merupakan sasaran serangan kejam dari pandangan ilmu ilmiah modern.” (1992:203).
Ironisnya, apa yang diagung-agungkan sebagai pengetahuan ilmiah modern, menurut Paul Ekins, telah gagal untuk memelihara kemajuan ilmu pengetahuan modern itu sendiri, yang diwakili dalam aliran pemikiran pasca Einsteinian, yang lebih menekankan ketidakpastian, subjektivitas, kognisi dan subordinasi hubungan individu. Kendatipun demikian, gerak maju dari paham keilmuan (scientism) tetap saja bersifat teknokratik, mekanistik, menciptakan ketergantungan, materialistik, atomistik dan anti ekologis (lingkungan).
Kesadaran itu datang terlambat, tetapi lebih terlambat lagi pelaksanaannya. Oleh karenanya, dunia telah kehilangan kekayaan kultural yang tak ternilai. Contoh kecil adalah kasus orang Aborigin di Australia: sebelum bangsa kulit putih datang lebih dari 200 tahun silam, suku bangsa Aborigin sekurangnya memiliki 300 bahasa. Hari ini, tinggal lebih kurang 50 bahasa asli saja yang masih hidup.
Untuk menghindari hal inilah agaknya, maka Prof Dr. Edi Sedyawati, Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan di Kampus UI Depok, November 1996 mengingatkan agar penelitian tradisi lisan, hendaknya jangan hanya menulis dan kemudian mendiskusikannya dalam forum ilmiah, tetapi bagaimana menghidupkannya dalam masyarakat.
Ironisnya, masih terdapat “para pakar” yang menganggap bahwa usaha-usaha revitalisasi dan restitusi (pemberdayaan dan pemulihan kembali) budaya lokal dianggap tidak ilmiah dan bahkan mengungkitkan kembali sentimen kesukuan. Tak heran, di Indonesia, upaya-upaya seperti ini masih sangat langka. Para ilmuwan Indonesia umumnya, dan kalangan intelektual Dayak khususnya masih banyak yang terkesima dengan paradigma ilmu modern (Barat).
Maka yang turut menjadi mesin penggeser budaya dan tradisi Dayak, bukan hanya “orang luar” tetapi terlebih orang Dayak sendiri. Di mata mereka orang Dayak masih ketinggalan zaman, primitif, termasuk golongan suku terasing dan terkebelakang. Adat istiadat Dayak termasuk dalam klasifikasi pemujaan berhala. Maka mereka harus dimodernisasikan dengan cara berpartisipasi lewat berbagai program pembangunan yang digalakan pemerintah. Maka studi tentang tradisi lisan dan kebijakan asli (indigenous wisdom) bertolak belakang dengan arus kemajuan zaman.
Tidak heran, ‘orang luar’ justru mengambil keberuntungan dari ilmu pengetahuan Dayak. Contoh yang paling konkret adalah para peneliti mancanegara yang tergabung dalam “Borneo Research Council” (Dewar Penelitian Borneo). Nama-nama terkenal seperti George N. Appel, Vinson Sutlive, Viktor King, Michael Dove, Bernard Sellatto, Richard Allan Drake, dll, adalah sama-sama “Dayak”. Hanya saja hasil-hasil penelitian mereka sebagian saja yang dapat dibaca oleh Orang Dayak.
Di pihak lain, tradisi lisan adalah keseluruhan naskah lisan yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat (kolektif dan individu), baik yang verbal mau pun yang non verbal.
Sejalan dengan itu, tradisi lisan Dayak mengandung filsafat, etika, moral, estetika, sejarah, seperangkat aturan (adat), ajaran-ajaran keagamaan, ilmu pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan teknologi tepat-guna, serta hiburan-hiburan rakyat. Hal inilah yang kemudian menuntun pemikiran, perkataan dan perilaku individu dan komunitas masyarakat Dayak. Tradisi lisan, bagi orang Dayak menghubungkan generasi lampau, sekarang dan masa depan.
Keberadaan tradisi lisan itu, terutama yang bersifat verbal sebagian besar masih tersimpan sebagai kenangan peradaban manusia pria dan wanita: tentang keindahan dan kekuatan dalam dari pengalaman manusia. Maka, jika perpustakaan hidup itu ‘pindah’ke negeri seberang-meminjam istilah dari orang Dayak Simpang-maka sebagian teks-teks yang tersimpan dalam memori mereka juga akan musnah ketika proses regenerasi tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.
Stepanus Djuweng
Pontianak, Agustus 2003
Copyright © Kebudayaan Dayak. Developed by: Kebudayaan Dayak |RSS Feed |Hubungi Kami |Online: 6 |Hits: 1236 / 1587735
0 Komentar
Form Komentar Berita